Fa’s Story

chipz

Suatu hal yang sebelumnya terasa biasa saja dapat menjadi berkesan saat kita mengetahui hikmah di balik suatu peristiwa. Pertemuan dengan seorang pembeli VCD dan DVD yang kujual ternyata awal dari sebuah kisah indah yang akan kujalani. Pertemuan yang hanya sesaat itu kini dapat kuingat.

***

6 September 2008

Sore itu, depan tempat penitipan sepatu ikhwan di masjid Salman, aku celingukan. Rencananya aku akan bertemu dengan salah seorang pembeli VCD dan DVD yang kujual. Beberapa hari yang lalu ia mengirimkan sms. Ia memperkenalkan diri sebagai Fanani dari Geodesi 2004 dan memesan DVD. Aku belum pernah bertemu dengannya, jadi pada pertemuan ini, ia menjelaskan ciri-cirinya yang mengenakan kaus putih bertuliskan “Impossible is nothing” dan menjinjing jaket biru. Beberapa orang ikhwan yang sedang duduk di depan tempat penitipan sepatu kulihat sekilas. Diantara beberapa orang yang berkaus putih, tidak terlihat satu pun yang pada kaosnya tertulis “Impossible is nothing” dan jaket biru. Agar urusan ini cepat selesai, aku juga membalas smsnya dan menjelaskan ciri-ciri pakaian yang kupakai, kaus putih dan jilbab biru tua motif. Hampir berbarengan dengan masuknya sms laporan, kulihat seorang ikhwan berkaus putih bangkit dari duduknya sambil memegang hp dan tengok kanan-kiri. Hmm…tampaknya yang itu! Kuhampiri ia, sambil bertanya, “Fanani ya?” Ia mengangguk dan balik bertanya “Syifa?” “Ya,….” Dan pembicaraan pun berlanjut dengan masalah jual beli DVD dan berlangsung singkat. Begitu urusan ini selesai, kami segera pergi, melanjutkan urusan masing-masing.

 

Beberapa waktu kemudian….

“Syifa, tolong kirim biodata.” Tanpa banyak bertanya, kukirimkan biodataku sesuai permintaan Teteh, kukira untuk melengkapi database.  Satu minggu kemudian, Teteh kembali mengirim sms, kali ini mengirimkan pesan yang isinya mengatakan bahwa beliau telah mengirim email. Aku baru dapat membuka email keesokan harinya. Judulnya “Biodata Ikhwan.” Eh? Apa ini? Tanganku membuka email itu. Pesan tentang keutamaan menikah tertulis dalam email tersebut disertai attachment yang berjudul “biodata.” Ya Allah, saat itu aku benar-benar kaget. Benarkah ini saatnya untukku menggenapkan setengah Dien?

Pernikahan, sebuah kata indah yang mampu membuat hati seseorang tergetar dan angan melayang. Sebuah tanggung jawab besar yang akan diemban sebagai bagian membangun batu bata peradaban seakan terbayar sepadan dengan keindahan yang terbayang. Berbagai cara dapat dipilih untuk menemukan pasangan hidup. Dari berbagai cara tersebut saya memilih untuk menemukan “sang nakhoda” bahtera hidupku dengan bantuan seorang ustadzah. Dengan demikian, aku berharap dapat menemukan seseorang yang memiliki kesamaan tujuan dan beberapa sikap yang rasanya kubutuhkan.

Hmm…. Jantungku berdegup semakin cepat, sementara tanganku membuka attachment. Bismillah… Karena malu, begitu file-nya terbuka, aku langsung menunduk dan menggeser mouse agar segera berpindah pada halaman berikutnya. Halaman pertama yang berisi nama ikhwan tersebut menjadi bagian terakhir yang akan kubaca. Sementara data-data lain kubaca, jantungku semakin berdetak cepat. Puncaknya ketika aku mengetahui nama ikhwan itu. Namanya Fanani Hendy Khusuma.

Istikharah kulakukan, memohon petunjukNya. Selain data yang tertulis dalam biodata itu, lainnya aku tidak tahu. Aku juga terlalu malu untuk bertanya pada teman-temanku yang mungkin mengenalnya. Sarana perkenalan yang lain adalah pertemuan yang difasilitasi ustadzah. Kami berbicara tentang diri dan visi dari ruangan yang berbeda. Proses ini lebih dikenal orang dengan sebutan taaruf.

Keesokkan paginya aku berbicara pada orang tua. Alhamdulillah, tanggapan mereka positif dan meminta ikhwan tersebut datang ke rumah sore itu juga, karena Ayah akan segera pergi keluar kota malam harinya. Ba’da ashar sampai Maghrib, ikhwan tersebut mengobrol dengan Ayah di ruang tamu. Subhanallah, ternyata Ayahku mengenal kakek, paman, dan bibinya. Satu hal yang kami tidak sangka. Namun, salah satunya karena itu pula, Ayahku dengan cepat memutuskan untuk menyetujui. Alhamdulillah ala kulli hal.

Selama taaruf dan kedatangan ikhwan tersebut ke rumah, kami senantiasa berbeda ruangan. Membuatku tak tahu seperti apa wajahnya. Pada saat khitbah pun, aku tidak berani melihat atau bahkan meliriknya. Aku hanya berbicara dengan ibu dan saudara-saudaranya yang perempuan. Namun, selanjutnya berdasarkan cerita yang kudapat dari keluarga dan rekan-rekannya, mereka mengenal ikhwan tersebut sebagai sosok yang baik. Subhanallah, berkatNya sajalah, aku yakin untuk melangkah menggenapkan Dien ini bersamanya, Fanani Hendy Khusuma.

Meretas jalan menuju janji suci hingga tiba di hadapanNya, kupinta doa darimu, sahabat……..